Sabtu, 29 Juni 2013

ABNORMALITAS DAN KAITAN ABNORMALITAS DENGAN KONSEP MOTIVASI, STRESS, DAN GENDER



ABNORMALITAS
Abnormalitas dapat didefinisikan sebagai hal yang jarang terjadi (seperti kidal) atau penyimpangan dari kondisi rata-rata (seperti tinggi badan yang ekstrem). Dalam psikologi abnormal, kriteria statistik semacam itu tidak dianggap relevan.
Abnormalitas didefinisikan melalui empat kriteria, yaitu:
1.   Distress
Kekacauan emosional setelah melihat peristiwa traumatis. Kesakitan psikologis, seperti depresi mendalam atau kecemasan hebat mungkin sangat besar hingga beberapa orang tidak dapat melakukan tugas-tugas sehari-hari.
2.   Impairment
Meliputi berkurangnya kemampuan seseorang untuk berfungsi pada taraf optimal atau bahkan pada taraf rata-rata.
3.   Beresiko bagi diri sendiri dan orang lain
4.   Perilaku yang tidak dapat diterima secara budaya dan sosial

KAITAN ABNORMALITAS DENGAN:
A.    Konsep Motivasi
Dalam konseptualisasi yang lebih baru (Elliot, 2011), terapi humanistik dan eksperimental telah menekankan pentingnya penggunaan metode-metode klinis. Terapi humanistik dan eksperimental kontemporer menekankan pentingnya memasuki dunia dan pengalaman klien, mencoba menangkap hal yang paling penting bagi klien pada saat itu. Dibangun dari premis yang diajukan oleh Rogers, para terapis yang efektif mencari cara untuk menyampaikan empati dan penerimaan serta melibatkan klien dalam menentukan tujuan treatmen serta melibatkan klien dalam menentukan tujuan treatmen serta mendefinisikan teknik-teknik seperti wawancara motivasi (motivational interview – MI), suatu cara terapi yang berpusat pada klien untuk mencapai perubahan perilaku dengan cara membantu klien mengeksplorasi dan mengatasi ketidak keseimbangan. Seperti Rogers, para klinisi yang menggunakan teknik ini mendasarkan terapi mereka pada metode mendengarkan dan merefleksikan yang memungkinkan mereka mencari celah untuk memicu perubahan dalam diri klien. Terapis mencoba untuk menemukan motivasi dalam diri klien untuk berubah dengan menekankan otonomi individual serta kemampuannya untuk memilih apakah perlu berubah, kapan, dan bagaimana cara untuk berubah (Hettema, Steele, & Miller, 2005).

B.     Stress
Sebagian besar peneliti menggunakan istilah stress untuk menunjukkan reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang ditunjukkan oleh seseorang, ketika orang tersebut memaknai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang menimbulkan ancaman. Reaksi emosional ini meliputi meningkatnya rangsangan fisiologis yang terjadi karena meningkatnya reaksi sistem saraf simpatetik. Stress dapat menyebabkan abnormalitas fisiologis. Untuk memahami permasalahan tersebut, ketika dapat menggunakan bidang psikoneuroimunologi (Psychoneuroimmunology), yaitu bidang yang mempelajari hubungan antara stress (Psycho), sistem saraf (neuro), dan sistem imun (immuno). Pada tingkat yang lebih tinggi, peneliti dibidang medis dan psikologi mulai memahami gangguan seperti gangguan jantung dan gangguan pada pernapasan, beberapa jenis diabetes, dan gangguan gastrointestinal dipengaruhi oleh respons terhadap stress yang dikendalikan sistem saraf pusat. Semakin jelas jika pengalaman terhadap stress, afeksi negatif, depresi, kurangnya dukungan sosial, represi, dan penghindaran dapat memengaruhi sistem dan fungsi imun (Schneiderman, Ironson, & Siegel, 2005).
Peristiwa yang menimbulkan stress dapat menimbulkan serangkaian reaksi dalam tubuh yang dapat menurunkan daya tahan terhadap penyakit, reaksi ini juga dapat memperburuk simtom gangguan fisik yang kronis yang terjadi karena dipengaruhi oleh stress. Salah satu penjelasan mengenai hubungan ini adalah bahwa stress menstimulasi hormon yang diatur oleh hipotalamus dan hormon ini menurunkan aktivitas sistem imun. Dengan perlindungan yang sedikit, daya tahan tubuh berkurang terhadap infeksi, alergi dan kuman-kuman penyakit lainnya yang lebih serius seperti karsinogen. Reaksi sistem imun juga mengubah fungsi sistem imun melalui ujung saraf pada bagian tubuh yang melibatkan sistem imun, seperti batang getah bening, timus, dan limpa. Stress juga menimbulkan  kortisol, hormon yang bertugas mengarahkan respon tubuh terhadap ancaman atau bahaya. Proses ini tampaknya berpengaruh terhadap jangkauan luas dari gangguan fisik, termasuk kanker, hipertensi, dan arthritis reumatroid (Costa & VandenBos, 1996). Peristiwa stress yang buruk dan depresi dapat meningkatkan simtom pada orang yang mengidap penyakit HIV (Crepaz dkk, 2008).

C.     Gender
Istilah identitas gender merujuk kepada persepsi individu sebagai seorang pria atau wanita. Walaupun demikian, identitas gender seseorang mungkin sesuai atau mungkin juga tidak sesuai dengan keadaan atau jenis kelamin biologis sebagaimana tertulis dalam surat keterangan lahir. Peran gender merujuk kepada perilaku atau sikap seseorang yang mengindikasikan maskulinitas atau kefemininan dalam lingkungan sosial saat ini. Gangguan identitas gender adalah suatu kondisi yang melibatkan suatu diskrepansi antara kondisi seksual seseorang dan identitas gender dari orang tersebut. Seseorang yang mengalami gangguan identitas gender mengalami identifikasi antarjenis kelamin yang kuat dan cenderung menetap yang pada akhirnya menyebabkan perasaan tidak nyaman dan menimbulkan rasa ketidaksesuaian dengan jenis kelamin yang mereka miliki. Para individu yang mengalami kondisi ini memiliki perasaan tertekan yang intens dan biasanya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di lingkungan sosial, lingkungan pekerjaan, dan area pemfungsian personal yang lain.

Sumber:
Halgin, Richard P dan Susan Krauss Whitbourne, 2010, Psikologi Abnormall: Perspektif Klinis Pada Gangguan Psikologis, Edisi 6, Jakarta: Salemba Humanika