ABNORMALITAS
Abnormalitas dapat
didefinisikan sebagai hal yang jarang terjadi (seperti kidal) atau penyimpangan
dari kondisi rata-rata (seperti tinggi badan yang ekstrem). Dalam psikologi
abnormal, kriteria statistik semacam itu tidak dianggap relevan.
Abnormalitas didefinisikan melalui empat
kriteria, yaitu:
1.
Distress
Kekacauan
emosional setelah melihat peristiwa traumatis. Kesakitan psikologis, seperti
depresi mendalam atau kecemasan hebat mungkin sangat besar hingga beberapa
orang tidak dapat melakukan tugas-tugas sehari-hari.
2.
Impairment
Meliputi
berkurangnya kemampuan seseorang untuk berfungsi pada taraf optimal atau bahkan
pada taraf rata-rata.
3.
Beresiko bagi diri sendiri dan orang
lain
4.
Perilaku yang tidak dapat diterima
secara budaya dan sosial
KAITAN ABNORMALITAS DENGAN:
A. Konsep
Motivasi
Dalam
konseptualisasi yang lebih baru (Elliot, 2011), terapi humanistik dan
eksperimental telah menekankan pentingnya penggunaan metode-metode klinis.
Terapi humanistik dan eksperimental kontemporer menekankan pentingnya memasuki
dunia dan pengalaman klien, mencoba menangkap hal yang paling penting bagi
klien pada saat itu. Dibangun dari premis yang diajukan oleh Rogers, para
terapis yang efektif mencari cara untuk menyampaikan empati dan penerimaan
serta melibatkan klien dalam menentukan tujuan treatmen serta melibatkan klien
dalam menentukan tujuan treatmen serta mendefinisikan teknik-teknik seperti
wawancara motivasi (motivational
interview – MI), suatu cara terapi yang berpusat pada klien untuk mencapai
perubahan perilaku dengan cara membantu klien mengeksplorasi dan mengatasi
ketidak keseimbangan. Seperti Rogers, para klinisi yang menggunakan teknik ini
mendasarkan terapi mereka pada metode mendengarkan dan merefleksikan yang
memungkinkan mereka mencari celah untuk memicu perubahan dalam diri klien.
Terapis mencoba untuk menemukan motivasi dalam diri klien untuk berubah dengan
menekankan otonomi individual serta kemampuannya untuk memilih apakah perlu
berubah, kapan, dan bagaimana cara untuk berubah (Hettema, Steele, & Miller,
2005).
B. Stress
Sebagian besar
peneliti menggunakan istilah stress untuk menunjukkan reaksi emosional yang
tidak menyenangkan yang ditunjukkan oleh seseorang, ketika orang tersebut
memaknai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang menimbulkan ancaman. Reaksi
emosional ini meliputi meningkatnya rangsangan fisiologis yang terjadi karena
meningkatnya reaksi sistem saraf simpatetik. Stress dapat menyebabkan
abnormalitas fisiologis. Untuk memahami permasalahan tersebut, ketika dapat
menggunakan bidang psikoneuroimunologi (Psychoneuroimmunology),
yaitu bidang yang mempelajari hubungan antara stress (Psycho), sistem saraf (neuro),
dan sistem imun (immuno). Pada
tingkat yang lebih tinggi, peneliti dibidang medis dan psikologi mulai memahami
gangguan seperti gangguan jantung dan gangguan pada pernapasan, beberapa jenis
diabetes, dan gangguan gastrointestinal dipengaruhi oleh respons terhadap
stress yang dikendalikan sistem saraf pusat. Semakin jelas jika pengalaman
terhadap stress, afeksi negatif, depresi, kurangnya dukungan sosial, represi,
dan penghindaran dapat memengaruhi sistem dan fungsi imun (Schneiderman,
Ironson, & Siegel, 2005).
Peristiwa yang
menimbulkan stress dapat menimbulkan serangkaian reaksi dalam tubuh yang dapat
menurunkan daya tahan terhadap penyakit, reaksi ini juga dapat memperburuk
simtom gangguan fisik yang kronis yang terjadi karena dipengaruhi oleh stress.
Salah satu penjelasan mengenai hubungan ini adalah bahwa stress menstimulasi
hormon yang diatur oleh hipotalamus dan hormon ini menurunkan aktivitas sistem
imun. Dengan perlindungan yang sedikit, daya tahan tubuh berkurang terhadap
infeksi, alergi dan kuman-kuman penyakit lainnya yang lebih serius seperti
karsinogen. Reaksi sistem imun juga mengubah fungsi sistem imun melalui ujung
saraf pada bagian tubuh yang melibatkan sistem imun, seperti batang getah
bening, timus, dan limpa. Stress juga menimbulkan kortisol, hormon yang bertugas mengarahkan
respon tubuh terhadap ancaman atau bahaya. Proses ini tampaknya berpengaruh
terhadap jangkauan luas dari gangguan fisik, termasuk kanker, hipertensi, dan arthritis
reumatroid (Costa & VandenBos, 1996). Peristiwa stress yang buruk dan
depresi dapat meningkatkan simtom pada orang yang mengidap penyakit HIV (Crepaz
dkk, 2008).
C. Gender
Istilah
identitas gender merujuk kepada persepsi individu sebagai seorang pria atau
wanita. Walaupun demikian, identitas gender seseorang mungkin sesuai atau
mungkin juga tidak sesuai dengan keadaan atau jenis kelamin biologis sebagaimana
tertulis dalam surat keterangan lahir. Peran gender merujuk kepada perilaku
atau sikap seseorang yang mengindikasikan maskulinitas atau kefemininan dalam
lingkungan sosial saat ini. Gangguan identitas gender adalah suatu kondisi yang
melibatkan suatu diskrepansi antara kondisi seksual seseorang dan identitas
gender dari orang tersebut. Seseorang yang mengalami gangguan identitas gender
mengalami identifikasi antarjenis kelamin yang kuat dan cenderung menetap yang
pada akhirnya menyebabkan perasaan tidak nyaman dan menimbulkan rasa ketidaksesuaian
dengan jenis kelamin yang mereka miliki. Para individu yang mengalami kondisi
ini memiliki perasaan tertekan yang intens dan biasanya mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri di lingkungan sosial, lingkungan pekerjaan, dan area
pemfungsian personal yang lain.
Sumber:
Halgin,
Richard P dan Susan Krauss Whitbourne, 2010, Psikologi Abnormall: Perspektif Klinis Pada Gangguan Psikologis, Edisi
6, Jakarta: Salemba Humanika