A.
Pengertian
Psikoterapi
Secara
bahasa psikoterapi berasal dari kata “psyche” yang berarti jelas, mind, jiwa,
dan “therapy” yang berarti merawat atau mengasuh. Jadi psikoterapi secara
etimologis berarti perawatan terhadap aspek kejiwaan seseorang (dalam Ariyanto,
2006)
Selain
itu, secara terminologis terdapat beberapa definisi, diantaranya yang
dikemukakan oleh Prawitasari (dalam Subandi, 2002) merumuskan psikoterapi
sebagai berikut: psikoterapi/ usada jiwa/ usada rasa/ usada mental adalah
proses formal interaksi antara dua pihak atau lebih. Yang satu adalah
professional penolong dan yang lain adalah orang yang ditolong dengan catatan
bahwa interaksi itu menuju pada perubahan atau penyembuhan. Perubahan itu dapat
berupa perubahan rasa, psikis, perilaku, kebiasaan yang ditimbulkan dengan
adanya tindakan professional penolong dengan latar ilmu perilaku dan teknik-teknik
usada yang dikembangkannya.
Sementara
itu, Watson dan Morse (dalam Ariyanto, 2006), psikoterapi dirumuskan sebagai
bentuk khusus dari interaksi antara dua orang, pasien dan terapis, pada mana
pasien memulai interaksi karena ia mencari bantuan psikologik dan terapis
menyusun interaksi dengan mempergunakan dasar psikologik untuk membantu pasien
meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dalam kehidupannya dengan mengubah
pikiran, perasaan dan tindakannya.
Berdasarkan
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, psikoterapi adalah proses
interaksi antara klien dan terapis dengan memanfaatkan prinsip psikologis,
untuk melakukan perubahan pikiran, perasaan, dan perilaku klien, dengan tujuan
membantu klien mengatasi masalah dan memecahkan masalahnya atau berkembang
sebagai individu yang mampu mengendalikan diri dalam kehidupannya.
B. Tujuan
Psikoterapi
Tujuan
yang ingin dicapai dalam psikoterapi mencakup beberapa aspek dalam kehidupan
manusia, yaitu:
a.
Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar. Hal ini biasanya
dilakukan melalui terapi yang bersifat direktif dan suportif. Persuasi dengan
berbagai cara, mulai dari nasehat yang sederhana sampai dengan hipnosis, untuk
menolong orang bertindak dengan cara yang tepat.
b.
Mengurangi tekanan emosi dengan memberi kesempatan seseorang untuk
mengekspesikan perasaan yang mendalam. Fokus di sini adalah adanya katarsis.
Hal ini disebut mengalami, bukan hanya membicarakan pengalaman emosi yang
mendalam. Dengan mengulangi pengalaman ini dan mengekspresikannya akan
menimbulkan pengalaman baru.
c.
Membantu klien mengembangkan potensinya. Melalui hubungannya dengan terapis,
klien diharapkan dapat mengembangkan potensinya. Klien diharapkan mampu
melepaskan diri dari fiksasi yang dialaminya atau menemukan dirinya mampu berkembang
ke arah yang lebih positif.
d.
Mengubah kebiasaan. Terapi memberi kesempatan untuk merubah perilaku. Terapis
bertugas menyiapkan situasi belajar baru yang dapat digunakan untuk untuk
mengganti kebiasaan-kebiasaan yang kurang adaptif. Pendekatan perilaku sering digunakan
untuk mencapai tujuan ini.
e.
Mengubah struktur kognitif individu. Struktur kognitif individu yang mengalami
kesenjangan dengan kenyataan yang dihadapinya diubah sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.
f.
Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan tepat.
Tujuan ini hampir sama dengan tujuan konseling. Dalam terapi sering terjadi isu
tentang pengambilan keputusan dan pemecahan masalah muncul. Maka langkah-langkah
seperti dalam konseling dapat dilakukan. Misalnya dapat dilakukan kombinasi
antara kemampuan, keterampilan yang dimiliki klien disesuaikan dengan minatnya
untuk menentukan keputusan yang akan diambilnya.
g.
Meningkatkan kemampuan diri atau insight. Terapi biasanya menuntun individu
untuk lebih mengerti tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukannya.
Individu juga akan mengerti mengapa ia melakukan tindakan tertentu. Kesadaran
dirinya ini penting sehingga ia akan lebih rasional dalam menentukan langkah selanjutnya.
Apa yang dulu tidak disadarinya menjadi lebih disadarinya sehingga ia
mengetahui konflik-konfliknya dan dapat mengambil keputusan dengan lebih tepat.
h.
Meningkatkan hubungan antar pribadi. Konflik yang dialami manusia biasanya
bukan hanya konflik intrapersonal tetapi juga interpersonal. Manusia sejak
lahir sampai mati membutuhkan manusia lain, sehingga ia banyak tergantung
dengan orang-orang penting dalam hidupnya. Dalam terapi individu dapat berlatih
kembali untuk meningkatkan hubungannya dengan orang lain sehingga ia dapat
hidup lebih sejahtera. Ia mampu berhubungan lebih efektif dengan orang lain.
Terapi kelompok dapat memberikan kesempatan bagi individu dalam meningkatkan
hubungan antar pribadi ini.
i.
Mengubah lingkungan sosial individu. Hal ini terutama dilakukan dalam terapi
anak-anak. Anak yang bermasalah biasanya hidup dalam lingkungan yang kurang
sehat. Dalam hal ini terapi ditujukan untuk orangtua dan lingkungan sosial di
mana anak berada. Terapi yang berorientasi pada sistem banyak digunakan untuk memperbaiki
lingkungan sosial individu.
j.
Mengubah proses somatik untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran
tubuh. Dalam hal ini latihan-latihan fisik dapat dilakukan dalam rangka
meningkatkan kesadaran individu. Misalnya latihan relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
Latihan yoga, senam, maupun menari untuk mengendalikan ketegangan tubuh.
k.
Mengubah status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol, dan
kreativitas diri. Berkaitan dengan hal ini mengartikan mimpi dan fantasi, perlu
untuk mengerti terhadap apa yang dialaminya. Meditasi juga dapat dilakukan
untuk mempertajam penginderaan individu.
Beberapa
tujuan terapi di atas biasanya saling mengait satu dengan lainnya, tidak
berdiri sendiri-sendiri. Misalnya latihan tubuh dapat dikombinasikan dengan
latihan meditasi. Mengembangkan potensi dapat dikombinasikan dengan pemecahan
masalah (Subandi, 2002: 7-10).
C. Unsur-Unsur
Psikoterapi
Masserman
(dalam Mujib, 2002) melaporkan delapan ‘parameter pengaruh’ dasar yang mencakup
unsur-unsur lazim pada semua jenis psikoterapi, yaitu :
1. Peran sosial
(martabat)
2.
Hubungan
psikoterapeutik
Seorang terapis mendengarkan dengan
penuh perhatian. Kemudian terapis menyampaikan pemahamannya terhadap klien atau
bertindak untuk menghilangkan penderitaan klien pada saat yang tepat.
3. Psikoterapi
sebagai kesempatan untuk belajar kembali
Menurut
Korchin kepercayaan terhadap tindakan terapis sangat dibutuhkan agar
menghasilkan kondisi-kondisi untuk belajar kembali. Seorang klien member
kepercayaan bersama dengan ketidakpuasan dan keinginan untuk berubah.
4. Motivasi,
kepercayaan dan harapan
Kepercayaan
merupakan hal yang penting dalam psikoterapi. Klien mengetahui bahwa dirinya
dapat mepercayai otoritas terapis. Dan dirinya akan diperlakukan dengan penuh
hormat, oleh karena itu klien dapat mengungkapkan pikirannya secara terbuka
tanpa adanya penolakan. Sedangkan harapan dan ketakutan dapat sesekali
menyelimuti klien ketika hendak melakukan psikoterapi.
5. Hak
6. Retrospeksi
7. Reduksi
8. Rehabilitasi
D. Perbedaan
Antara Psikoterapi dan Konseling
Thomson & Rudolph (dalam
Gunarsa, 2007) menyatakan bahwa perbedaan konseling dan psikoterapi adalah
sebagai berikut:
No
|
Konseling
|
Psikoterapi
|
1
|
Klien
|
Pasien
|
2
|
Gangguan yang kurang
serius
|
Gangguan yang serius
|
3
|
Masalah: Jabatan,
Pendidikan
|
Masalah kepribadian
dan pengambilan keputusan
|
4
|
Prevensi
|
Kurasi atau
penyembuhan
|
5
|
Lingkungan pendidikan
dan non medis
|
Lingkungan medis
|
6
|
Berhubungan dengan
kesadaran
|
Berhubungan dengan
ketidaksadaran
|
7
|
Metode pendidikan
|
Metode penyembuhan
|
E. Pendekatan
Psikoterapi Terhadap Mental Illness
Menurut J.P. Chaplin ada beberapa
pendekatan psikoterapi terhadap mental illness, diantaranya:
a) Biological
Meliputi
keadaan mental organik, penyakit afektif, psikosis dan penyalahgunaan zat.
Menurut Dr. John Grey, Psikiater Amerika (1854) pendekatan ini lebih manusiawi.
Pendapat yang berkembang waktu itu adalah penyakit mental disebabkan karena
kurangnya insulin.
b) Psychological
Meliputi suatu peristiwa pencetus dan efeknya terhadap perfungsian yang buruk, sekuel pasca-traumatic, kesedihan yang tak terselesaikan, krisis perkembangan, gangguan pikiran dan respon emosional penuh stres yang ditimbulkan. Selain itu pendekatan ini juga meliputi pengaruh sosial, ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungan dan hambatan pertumbuhan sepanjang hidup individu.
Meliputi suatu peristiwa pencetus dan efeknya terhadap perfungsian yang buruk, sekuel pasca-traumatic, kesedihan yang tak terselesaikan, krisis perkembangan, gangguan pikiran dan respon emosional penuh stres yang ditimbulkan. Selain itu pendekatan ini juga meliputi pengaruh sosial, ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungan dan hambatan pertumbuhan sepanjang hidup individu.
c) Sosiological
Meliputi kesukaran pada sistem dukungan sosial, makna sosial atau budaya dari gejala dan masalah keluarga. Dalam pendekatan ini harus mempertimbangkan pengaruh proses-proses sosialisasi yang berlatarbelakangkan kondisi sosio-budaya tertentu.
Meliputi kesukaran pada sistem dukungan sosial, makna sosial atau budaya dari gejala dan masalah keluarga. Dalam pendekatan ini harus mempertimbangkan pengaruh proses-proses sosialisasi yang berlatarbelakangkan kondisi sosio-budaya tertentu.
d) Philosophic
Kepercayaan terhadap martabat dan harga diri seseorang dan kebebasan diri seseorang untuk menentukan nilai dan keinginannya. Dalam pendekatan ini dasar falsafahnya tetap ada, yakni menghagai sistem nilai yang dimiliki oleh klien, sehingga tidak ada istilah keharusan atau pemaksaan.
Kepercayaan terhadap martabat dan harga diri seseorang dan kebebasan diri seseorang untuk menentukan nilai dan keinginannya. Dalam pendekatan ini dasar falsafahnya tetap ada, yakni menghagai sistem nilai yang dimiliki oleh klien, sehingga tidak ada istilah keharusan atau pemaksaan.
F. Bentuk-Bentuk
Utama Dari Terapi
Bentuk utama
yang dikemukakan oleh Atkinson (dalam Maulany, 1994) terdapat enam teknik atau
bentuk utama psikoterapi yang digunakan oleh para psikiater atau psikolog,
antara lain:
1. Teknik
Terapi Psikoanalisa
Teknik ini
menekankan fungsi pemecahan masalah dari ego yang berlawanan dengan
impuls seksual dan agresif dari id. Model ini banyak dikembangkan dalam
Psiko-analisis Freud. Menurutnya, paling tidak terdapat lima macam teknik
penyembuhan penyakit mental, yaitu dengan mempelajari otobiografi, hipnotis,
chatarsis, asosiasi bebas, dan analisa mimpi. Teknik freud ini selanjutnya
disempurnakan oleh Jung dengan teknik terapi Psikodinamik.
2. Teknik
Terapi Perilaku
Teknik ini
menggunakan prinsip belajar untuk memodifikasi perilaku individu, antara lain desensitisasi,
sistematik, flooding, penguatan sistematis, pemodelan, pengulangan perilaku
yang pantas dan regulasi diri perilaku.
3. Teknik
Terapi Kognitif Perilaku
Terapis
membantu individu mengganti interpretasi yang irasional terhadap suatu
peristiwa dengan interpretasi yang lebih realistik.
4. Teknik Terapi Humanistik
Teknik
dengan pendekatan fenomenologi kepribadian yang membantu individu menyadari
diri sesunguhnya dan memecahkan masalah mereka dengan intervensi terapis yang
minimal (client-centered-therapy). Gangguan psikologis diduga timbul
jika proses pertumbuhan potensi dan aktualisasi diri terhalang oleh situasi
atau orang lain.
5. Teknik
Terapi Eklektik atau Integratif
Yaitu
memilih teknik terapi yang paling tepat untuk klien tertentu. Terapis
mengkhususkan diri dalam masalah spesifik, seperti alkoholisme, disfungsi
seksual, dan depresi.
6. Teknik
Terapi Kelompok dan Keluarga
Terapi
kelompok adalah teknik yang memberikan kesempatan bagi individu untuk menggali
sikap dan perilakunya dalam interaksi dengan orang lain yang memiliki masalah
serupa. Sedang terapi keluarga adalah bentuk terapi khusus yang membantu
pasangan suami-istri, atau hubungan arang tua-anak, untuk mempelajari cara yang
lebih efektif, untuk berhubungan satu sama lain dan untuk menangani berbagai
masalahnya.
Sumber
Referensi:
Ariyanto,
M Darojat. (2006). PSIKOTERAPI DENGAN DOA. Jurnal
Suhuf.
Chaplin,
J.P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Gunarsa,
Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia.
Maulany, R F;. (1997). BUKU SAKU PSIKIATRI. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
Mujib,
A. (2002). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Subandi, M. A (ed.). (2002). Psikoterapi
Pendekatan Konvensional dan Kontemporer. Yogyakarta: Unit Publikasi
Fakultas Psikologi UGM